Cerpen: Cerita Kakek Buyut

WhatsApp Image 2017-08-17 at 13.56.11

Aku menaikkan salah satu alisku ketika melihat kakek buyutku tersenyum sendu. Tak biasanya beliau yang sering melontarkan lelucon itu tersenyum seperti ini ketika melihat sebuah tayangan di televisi.

“Kakek buyut mengapa?” tanyaku. Beliau terdiam. Matanya masih memandang sendu tayangan televisi yang tengah menampilkan kehidupan rakyat Papua.

“Kek?”

“Dulu, kakek dan teman-teman seperjuangan mengendap-endap ke area musuh demi kemerdekaan bangsa ini. Dulu pula, kami yang hanya memakan ubi rebus ini rela tak tidur agar “mereka” tak mengetahui taktik kami pula,” katanya.

“Dulu pun, Kakek pula dengan hanya berbekal keberanian memaksa golongan tua agar segera memerdekakan bangsa ini. Kakek dan teman seperjuangan tak ingin kemerdekaan bangsa berasal dari hadiah bangsa lain. Kami, golongan pemuda saat itu, hanya berharap satu yaitu kata merdeka,” katanya lagi.

“Kami pun pernah sekali menjadi incaran Petrus gegara dianggap antek-antek PKI. Kebebasan kami untuk protes terhadap kesewenang-wenangan pemerintah dibatasi. Saat itu kami hanya bisa gigit jari. Hingga pada tahun 1998, kakek dan nenek buyutmu yang memang seorang pejuang, ikut dalam peristiwa Trisakti. Kami ikut di barisan belakang mahasiswa-mahasiswa yang inginkan “kemerdekaan” negeri ini.” Beliau mengusap setetes air mata yang jatuh ke pipinya tatkala mengingat masa lampau.

“Tapi, mengapa sekarang, perjuangan yang kami lakukan berbuah seperti ini? Negeri terpecah. Pertikaian dimana-mana. Adapun pihak yang inginkan ideologi lain untuk menggantikan Pancasila. Kakek merasa…” Beliau lagi-lagi terdiam. Kepalanya menunduk. Sesekali bahunya bergetar. Kakek…

“Di, apa kamu tahu arti dari merdeka?” Aku terdiam. Menurutku negara ini sudah merdeka. Apa yang salah?

“Di, merdeka tak hanya bebas dari penjajah. Merdeka tak hanya bebas dari penindasan bangsa lain. Merdeka tidak hanya bebas dari peperangan. Merdeka itu… bangsa sejahtera. Merdeka itu… tidak ada perbedaan antara si Miskin dan si Kaya. Merdeka itu… peduli terhadap sesama. Merdeka itu… bebas menyampaikan aspirasi. Merdeka itu… memperjuangkan arti dari Pancasila.”

Aku terdiam, merasa tersindir. Sudahkah aku –salah satu rakyat ini—merdeka? Sudahkah mereka yang di bawah jembatan merdeka? Sudahkah mereka yang kecanduan budaya lain pun merdeka?

“Tapi kakek bersyukur, masihlah ada generasi yang memperjuangkan hak bangsa ini. Masih ada generasi yang membantu sesamanya untuk merdeka. Kakek bersyukur kamu ada di antara mereka,” katanya lagi yang membuatku bingung.

“Kakek bersyukur cicit Kakek ini masih peduli terhadap kakek tua seperti kakek. Kakek bersyukur kamu masih memperjuangkan hak untuk sehat di desa ini.”

Aku terenyuh mendengar kata-katanya. Dia, kakek buyutku tersayang, memandang kegiatan buang sampah di jalanan desa yang aku lakoni tiap pulang-pergi ke kampus adalah sebuah perjuangan.

Di balik matanya yang berkaca-kaca, beliau tersenyum manis sekali padaku sambil memelukku erat.

“Jangan sia-siakan kemerdekaan yang pernah Kakek dan teman-teman Kakek perjuangkan.”

Penulis: Rike Andriyani


Leave a comment